1.
Perkawinan
sebagai Sakramen
Sakramen artinya “tanda”. Apa yang
ditandakan dalam sakramen perkawinan Katolik?
·
Tanda
Cinta Allah
Dalam sakramen perkawinan, suami adalah
tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda cinta
dan kebaikan Allah bagi sang suami. Bahkan, bukan hanya tanda, mereka juga
dipilih untuk menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui, suami atau istri Tuhan
hadir, menolong, menguatkan, dan membahagiakan pasangannya. Ia ikut mengerjakan
apa yang telah mereka ikrarkan satu sama lain di hadapan-Nya. Sejak hari itulah
mereka bertolak bersama-sama ke jalan menuju kepada-Nya.
Tuhan memilih suami dan istri Kristen
supaya mereka menjadi tanda dan saran kasih setia-Nya bagi satu sama lain
selama mereka hidup bersama. Maka dari itu, sakramen ini diberikan oleh suami
kepada istrinya dan oleh istri kepada suaminya. Apa yang mereka lakukan dan
ikrarkan di hadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang akan mereka teruskan
selama hidup perkawinan mereka: saling menyempurnakan atau saling menguduskan
sebagai anak Allah.
Pasangan manusia dicita-citakan oleh
Tuhan menurut hakikatnya sendiri: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa … Maka Allah menciptakan manusia
itu menurut gambar-Nya, … laki-laki dan perempuan …” (lih. Kej 1:26-28).
Hakikat Tuhan ialah cinta yang maha
sempurna, yang menyatukan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Allah menhendaki supaya manusia menjadi
seperti hakikat-Nya itu. Satu dalam cinta yang mesra. Manusia yang menjadi dua
ketika Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, langsung disatukan
kembali secara lebih sempurna dalam cinta. Allah membimbing Hawa kepada Adam
(karena tidak baik manusia itu sendirian saja) dan Adam kegirangan berucap,
“Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku!” Sejak saat itu,
memang lelaki harus meninggalkan ibu-bapaknya untuk bersatu padu jiwa dan raga
dengan istrinya. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu!
Sungguh pasangan manusia dicita-citakan
oleh Tuhan menurut hakikat-Nya sendiri. Persatuan dan cinta antara pria dan
wanita menjadi tanda cinta-Nya.
·
Tanda
Cinta Kristus kepada Gereja-Nya
Persatuan cinta suami istri Kristen
menunjuk kepada suatu persatuan cinta yang lain. Perkawinan Kristen menjadi
gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia, yaitu persatuan hidup Kristus
dengan umat-Nya. Adanya suami di samping istrinya dan istri di samping suaminya
dalam ikatan cinta, adalah tanda nyata bahwa Kristus selalu menyertai kita, dan
kita sebagai suami istri selalu semakin dipersatukan dalam Dia.
Santo Paulus berkata, “Hai suami,
kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya … Demikian juga suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri … Sebab tidak pernah orang membenci
tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus
terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah
hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:25-32).
Jadi, dapatlah kita menarik kesimpulan
ini: cinta kasih suami istri didukung oleh kesatuan Gereja, tetapi kesatuan
yang berlangsung dalam perkawinan kristiani. Oleh sebab itu, kehidupan
perkawinan disebut sel hidup umat Allah.
Kiranya menjadi jelas bahwa dengan
menjadi suatu sakramen, perkawinan manusiawi diberi rahmat kekuatan yang jauh
melampaui kekuatan insan kedua suami istri itu. Kekuatan dahsyat ini diberikan
oleh Kristus, supaya suami istri sanggup mengamalkan tujuan perkawinan, yang
antara lain menuntut kesatuan, semangat berkorban, kesediaan mengampuni, sikap
terbuka dan saling percaya walaupun sudah dikecewakan. Ini sunggu suatu
realitas baru!
Hidup setia antara suami istri yang
menandakan cinta dan kebahagiaan diangkat oleh Kristus untuk menjadi tanda dan
sumber rahmat ilahi, bukan hanya pada hari pernikahan yang membahagiakan itu.
Sakramen perkawinan tidak selesai pada waktu pengantin baru meninggalkan
gereja. Sakramen ini bukanlah sekedar suatu upacara di gereja. Upacara
perkawinan bukanlah happy ending dari suatu perjalanan panjang dan
berliku-liku, melainkan a new beginning. Sakramen itu berjalan terus hari demi
hari selama mereka hidup.
Sakramen perkawinan adalah hidup
pasangan itu, mulai pada hari pernikahan mereka sampai saat mau memisahkan
mereka. Hidup perkawinan adalah suatu ziarah iman dalam cinta, bila dihayati
hari demi hari dengan setia, akan menjadi tanda bahwa Allah mencintai kita tanpa
batas.
2.
Sifat-Sifat
Perkawinan Sakramental
Karena perkawinan sacramental adalah
tanda cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya maka cinta
perkawinan itu harus utuh, tak terbagi (monogami) dan tak terceraikan. Cinta
Allah dan cinta Kristus adalah utuh dan abadi.
· Monogami
Salah satu perwujudan cinta dan
kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan Kristen menolak
poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen, suami harus menyerahkan diri
seutuhnya kepada istrinya dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya
secara utuh kepada suaminya, tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi yang
lain. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Inilah yang
dituntut oleh Injil kita.
Yesus menegaskan, “Sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka berdua bukan lagi dua,
melainkan satu” (Mat 19:5-6a). Inilah persatuan dan cinta yang sungguh
menyeluruh, tak terbagi, dan total sifatnya. Persatuan dan cinta yang utuh
seperti ini melahirkan rasa saling percaya, saling menerima segala kebaikan dan
kekurangan masing-masing.
Atas dasar persatuan dan cinta inilah
suami istri boleh merasa aman satu terhadap yang lain, tak perlu saling
mencurigai dan menduga-duga. Diri pasangan seluruhnya untuk kita dan seluruh
diri kita untuk pasangan kita. Kita saling menyerahkan diri seutuh-utuhnya.
Dalam perkawinan Kristen, yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan
saja, juga bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan seluruh diri kita, termasuk
hati dan seluruh masa depan kita.
· Tak Terceraikan
Perkawinan Kristen bukan saja monogam,
tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut
yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk
jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain.
Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personal, total, dan permanen itu (bdk. Mrk 10:2-12; Luk 16:18).
Kita tidak boleh berpikir atau berkata,
“Saya mau menikahi kamu untuk sepuluh tahun” atau “Saya mau menikahi kamu
selama kamu cantik, tetapi kalau sudah ada tanda-tanda menua, maaf saja …
selamat tinggal!” Kalau demikian halnya, bagaimana bisa saling percaya satu
sama lain? Dapatkah kita saling menyerahkan diri dengan syarat, dengan perasaan
cemas kalau-kalau batas waktunya sudah dekat?
Nah, untuk memberikan landasan yang
kuat, dalam janji pernikahan, di hadapan Tuhan setiap calon mempelai saling
mengikrarkan kesetiaan mereka, sampai maut memisahkan. “Ya” yang diucapkan pada
hari pernikahan adalah “ya” tanpa syarat. Dan, “ya” ini hendaknya diulang
terus-menerus. “Ya” kepada seluruh diri teman hidup kita dan “ya” untuk
selamanya. Tekad dan usaha yang jujur untuk mengamalkan itu diberkati oleh
Tuhan. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi sakramen. Jadi, mereka
diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan,
dan menghibur tanpa syarat apapun. Dan, karena Kristus dengan setia menyertai
dan menolong suami istri, mereka pun sanggup untuk setia satu terhadap yang
lain. Sifat sacramental perkawinan Kristen itulah yang membuatnya kokoh dan tak
terceraikan.
Bahwa pasangan Katolik tidak bisa (bukan hanya tidak boleh)
bercerai, memang sukar dimengerti oleh orang lain. Sifat ini hanya dapat kita
terima kalau kita menyadari bahwa Tuhan memilih dan mengukuhkan seseorang
supaya menjadi tanda dan alat keselamatan (sakramen) bagi teman hidupnya.
No comments:
Post a Comment