Sunday, October 2, 2011

Tujuan Perkawinan


·         UU Perkawinan RI merumuskan tujuan perkawinan sebagai berikut. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, tetap, dan sejahtera. Untuk itu, suami istri perlu saling melengkapi dan membantu dalam pengembangan kepribadian masing-masing.
·         Dalam tradisi Gereja pada masa lampau, tujuan perkawinan adalah untuk:
­   memperoleh kebahagiaan;
­   memperoleh keturunan; dan
­   merealisir kebutuhan seksual.
Mungkin pendapat ini perlu dijernihkan. Sebab, kalau ketiga unsur ini yang dijadikan pokok tujuan perkawinan, suami istri sungguh hanya merupakan sarana. Bahaya yang riil bisa muncul yaitu kalau kedua pasangan perkawinan itu melihat pasangannya hanya sekedar sarana (alat) untuk memperoleh keturunan, kebahagiaan, dan kepuasan seksual.
·         Konsili Vatikan II dengan tepat sekali mengatakan bahwa anak (keturunan) merupakan “mahkota cinta bapak ibunya”. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah tujuan, tetapi lebih merupakan “hadiah cuma-cuma” yang dengan sendirinya diperoleh karena mencintai teman hidup. Sementara, hubungan seksual hendaknya dilihat sebagai suatu dorongan yang kuat untuk mengabdi kepada kepentingan pasangan daripada kepentingan sendiri yang sempit. Hubungan seksual lebih merupakan “bahasa cinta” dan bukan sekedar nafsu mengejar kepuasan sendiri.
Seorang bayi tumbuh menjadi remaja, lalu menjadi seorang pria atau wanita muda. Pertumbuhan jasmani dan mungkin juga intelektual (pendidikan) biasanya selesai antara umur 20 s.d. 30 tahun. Apakah hidup manusia pada umur ini sudah selesai? Apakah ia tidak membutuhkan apa-apa lagi?
Kenyataan justru sebaliknya! Pada saat pertumbuhan jasmani dan intelektual selesai, manusia merasakan bahwa baru tahap persiapanlah yang selesai. Sekarang ia ingin membangun hari depan atas landasan yang telah disiapkan itu. Akan tetapi, perkembangan seterusnya itu tidak dapat dikerjakan sendirian. Ia memerlukan seorang lain. Bukan lagi bapak ibunya, bukan pula saudara-saudaranya, juga buka kawan-kawannya. Ia membutuhkan seseorang dari lawan jenis. Ia menginginkan seorang pria atau seorang wanita yang bersedia bersama-sama dengannya membangun masa depan.
Perkembangan sebagai manusia pada permulaan usia dewasa memerlukan kerja sama antara seorang pria dan seorang wanita. Mereka saling membantu untuk mengembangkan bakat-bakat khas jenis mereka maupun kepribadian mereka masing-masing. Biasanya, penyempurnaan ini menjadi nyata dalam hidup sebagai pasangan suami istri dan bapak ibu.
Jadi, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah membantu satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. Dengan kata lain, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah: membantu satu sama lain dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
Di dunia: dengan mengalami diri sebagai orang yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain.
Di akhirat: dengan bersatu dengan Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.
Maka, dapatlah kita tarik dua kesimpulan:
­   Seorang egois tak sanggup menikah (walaupun dapat mengadakan anak).
­   Jalan bersama suami istri bukanlah petualangan yang tanpa tujuan, melainkan mengarah kepada asal usul segala cinta, yaitu Bapa di surga.

No comments:

Post a Comment