·
UU Perkawinan RI merumuskan tujuan perkawinan
sebagai berikut. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia,
tetap, dan sejahtera. Untuk itu, suami istri perlu saling melengkapi dan
membantu dalam pengembangan kepribadian masing-masing.
·
Dalam tradisi Gereja pada masa lampau,
tujuan perkawinan adalah untuk:
memperoleh kebahagiaan;
memperoleh keturunan; dan
merealisir kebutuhan seksual.
Mungkin
pendapat ini perlu dijernihkan. Sebab, kalau ketiga unsur ini yang dijadikan
pokok tujuan perkawinan, suami istri sungguh hanya merupakan sarana. Bahaya
yang riil bisa muncul yaitu kalau kedua pasangan perkawinan itu melihat
pasangannya hanya sekedar sarana (alat) untuk memperoleh keturunan,
kebahagiaan, dan kepuasan seksual.
·
Konsili Vatikan II dengan tepat sekali
mengatakan bahwa anak (keturunan) merupakan “mahkota cinta bapak ibunya”.
Demikian pula dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah tujuan, tetapi lebih
merupakan “hadiah cuma-cuma” yang dengan sendirinya diperoleh karena mencintai
teman hidup. Sementara, hubungan seksual hendaknya dilihat sebagai suatu
dorongan yang kuat untuk mengabdi kepada kepentingan pasangan daripada
kepentingan sendiri yang sempit. Hubungan seksual lebih merupakan “bahasa
cinta” dan bukan sekedar nafsu mengejar kepuasan sendiri.
Seorang
bayi tumbuh menjadi remaja, lalu menjadi seorang pria atau wanita muda.
Pertumbuhan jasmani dan mungkin juga intelektual (pendidikan) biasanya selesai
antara umur 20 s.d. 30 tahun. Apakah hidup manusia pada umur ini sudah selesai?
Apakah ia tidak membutuhkan apa-apa lagi?
Kenyataan
justru sebaliknya! Pada saat pertumbuhan jasmani dan intelektual selesai,
manusia merasakan bahwa baru tahap persiapanlah yang selesai. Sekarang ia ingin
membangun hari depan atas landasan yang telah disiapkan itu. Akan tetapi,
perkembangan seterusnya itu tidak dapat dikerjakan sendirian. Ia memerlukan
seorang lain. Bukan lagi bapak ibunya, bukan pula saudara-saudaranya, juga buka
kawan-kawannya. Ia membutuhkan seseorang dari lawan jenis. Ia menginginkan
seorang pria atau seorang wanita yang bersedia bersama-sama dengannya membangun
masa depan.
Perkembangan
sebagai manusia pada permulaan usia dewasa memerlukan kerja sama antara seorang
pria dan seorang wanita. Mereka saling membantu untuk mengembangkan bakat-bakat
khas jenis mereka maupun kepribadian mereka masing-masing. Biasanya, penyempurnaan
ini menjadi nyata dalam hidup sebagai pasangan suami istri dan bapak ibu.
Jadi,
tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah membantu satu sama lain, dengan saling memberikan dan mendapatkan
pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain. Dengan kata
lain, tujuan hidup bersama sebagai suami istri ialah: membantu satu sama lain dan membiarkan diri dibantu oleh pasangan dalam
perjalanan hidup menuju kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat.
Di dunia: dengan
mengalami diri sebagai orang yang bermanfaat bagi yang lain, dengan memberikan
dan mendapatkan pengertian, dengan mengalami perkembangan berkat yang lain.
Di akhirat:
dengan bersatu dengan Yang Mahabaik karena menjadi teman hidup yang setia.
Maka,
dapatlah kita tarik dua kesimpulan:
Seorang egois tak sanggup menikah
(walaupun dapat mengadakan anak).
Jalan bersama suami istri bukanlah
petualangan yang tanpa tujuan, melainkan mengarah kepada asal usul segala
cinta, yaitu Bapa di surga.
No comments:
Post a Comment