Di
sini akan dikemukakan satu dua tantangan dalam kehidupan perkawina, baik
tantangan yang bersifdat dari dalam dan tantangan yang bersifat dari luar. Kita
akan membicarakannya satu per satu.
1.
Tantangan
yang Bersifat dari Dalam
Di sini dibicarakan tantangan-tantangan
yang disebabkan oleh factor-faktor dalam perkawinan itu sendiri.
· Kebosanan dan Kejenuhan
Pada masa pacaran, pertunangan, dan
pemulaan perkawinan orang biasanya berada pada tahap cinta emosional dan
romantic. Cinta tanpa banyak pertimbangan rasional. Pada masa-masa itu, hidup
ini terasa sangat indah dan menyenangkan. Si dia di mata kita sungguh tanpa
cacat cela. Cinta kita kepadanya merupakan cinta ultroistis, cinta yang rela
berkorban sampai melupakan diri demi kebahagiaan.
Akan tetapi, sesudah beberapa waktu,
kita mulkai merasa bahwa si dia bukanlah seseorang yang tanpa cacat cela. Dari
hari ke hari semakin banyak cacat dan kekurangan yang kita lihat. Mungkinh
cacat yang kecil, tetapi kalau terus ditimbun dari waktu ke waktu, kita akan
merasa kecewa, bosan, dan jenuh. Kita bisa jatuh kepada cinta diri.
Dan, kalau kita mulai mementingkan diri
sendiri, timbullah rupa-rupa bencana. Di
mana ada cinta diri, di sana tidak ada tempat lagi bagi sikap bertengang rasa,
sikap saling mengerti dan memaafkan. Yang ada hanyalah nafsu kesenangan
sendiri, nafsu menang sendiri, nafsu tahu sendiri, dan sebagainya.
Dalam situasi ini seperti ini cinta
romantic harus diganti dengan cinta yang rasional. Cinta dengan dimensi
tanggung jawab yang lebih kuat. Tanggung jawab kepada teman hidup dan anak-anak.
· Perbedaan Pendapat dan Pandangan
Perbedaan pendapat dan pandangan
sebenarnya soal biasa, aal saja orang mau saling menghormati pendapat dan
keyakinan teman hidup. Dalam hal-hal yang agak prinsipii (misalnya menyangkut
pendidikan anak dalam keluarga), dapat dicari jalan keluar bersama-sama, dengan
kepala dingin. Persoalan akan muncul kalau salah seorang dari suami istri itu
mulai memaksakan kehendaknya serta mengambil keputusan dan tindakan secara
sepihak. Pihak lain tentu merasa disepelekan dan dianggap sepi. Dengan demikian
percekcokkan tidak dapat dielakkan. Setiap saat pertengkaran dan bentrokan
selalu bisa terjadi. Perbedaan pandangan ini sering terjadi dalam bidang
pendidikan anak, pengaturan kesejahteraan keluarga, KB, dan sebagainya.
· Ketakserasian dalam Hubungan Seksual
Hubungan seksual merupakan soal yang
sangat peka pula. Kalau tidak bertenggang rasa, bisa menimbulkan kerenggangan
antara suami dan istri. Kalau suami terlalu menuntut, baik mengenai waktu dan
cara maupun tempat untuk berhubungan seksual, istri akan merasa bahwa dirinya
hanyalah alat pemuas nafsu suami saja. Dengan itu, ia akan merasa sangat
tersinggung dan menderita. Sebaliknya, kalau istri menolak melayani suaminya
atau melayaninya dengan setengah hati, suami akan merasa sangat tersinggung.
Banyak suami yang jatuh ke pelukan wanita lain atau pelacur karena dendam
kepada istrinya atau untuk mendapat pelayanan seksual yang lebih memuaskan
daripada istrinya.
· Perzinahan/Perselingkuhan
Sering kali, oleh suatu keadaan
tertentu, suami dan istri tidak bisa melakukan hubungan seksual untuk jangka
waktu tertentu. Mungkin karena urusan tugas, urusan kesehatan, masa hamil tua,
minggu-minggu pertama sesudah persalinan, atau halangan-halangan lainnya.
Kurangnya perhatian dan pengertian yang diberikan kepada pasangan juga dapat
meretakkan keluarga. Dalam situasi semacam ini, salah seorang pasangan dapat
merasa tergoda untuk menyeleweng dari kewajiban suci perkawinannya: dia akan
mencari kepuasan hubungan seks dengan seorang wanita atau laki-laki yang lain.
Tentu saja, perzinahan adalah
pelanggaran berat melawan kesucian dan kesetiaan perkawinan yang mendatangkan
penderitaan besar untuk semua anggota keluarga, termasuk pihak yang tidak
setia.
Gereja Katolik cukup tegas dalam
menilai dosa perzinahan itu, namun Gereja tak pernah mengizinkan perceraian.
Jalan satu-satunya yang wajar untuk pasutri itu ialah bertobat, saling
mengampuni dan memabarui cinta yang ikhlas demi kebahagiaan seluruh keluarga.
· Kemandulan
Kalau salah satu pasangan ternyata
mandul, sering kali timbul krisis dalam perkawinan. Biasanya, satu pihak
mempersalahkan pihak lain walaupun kemandulan bukanlah kesalahan pribadi. Apa
yang penting dalam situasi itu ialah janganlah berhenti saling mencintai,
tetapi pakailajh akal budi dan cobalah memeriksakan diri dulu ke dokter. Bisa
terjadi bahwa kemandulan tidak bersifat tetap, tetapi dapat diatasi secara
fisiologis dan psikologis.
Akan tetapi, kalau ternyata salah
seorang dari pasangan suami istri ini mandul tetap, mereka harus menerima
kenyataan pahit ini. Mereka tidak boleh percaya kepada pendapat kolot bahwa
perkawinannya tidak direstui oleh nenek moyang, dan dengan demikian boleh
merencanakan perceraian sebagai jalan keluar. Perkawinan Kristen tetap
mempunyai arti yang dalam, meski tanpa kemungkinan untuk mendapat anak sendiri.
2.
Tantangan
yang Bersifat dari Luar
Yang dimaksudkan dengan tantangan yang
bersifat dari luar ialah tantangan-tantangan yang disebabkan oleh faktor-faktor
di luar perkawinan itu sendiri. Kita akan menyebutkan dua contoh saja.
· Pengaruh-pengaruhg
atau suasana negatif yang bisa mengganggu dan mengaburkan martabat lembaga
perkawinan. Pengaruh-pengaruh atau suasana negatif tersebut antara lain sebagai
berikut.
Kawin cerai yang semakin banyak terjadi
di dalam masyarakay kita sekarang ini. Dikatakan lebih dari 50% perkawinan di
Indonesia berakhir dengan perceraian.
Suasana dan kebiasaan berpoligami, atau
dengan gaya yang lebih modern: memiliki wanita simpanan. Belum lagi
penyelewengan-penyelewengan (sampai dengan kebiasaan tukar kunci) yang semakin
biasa di zaman ini. Akhir-akhir ini banyak Koran mengungkapkan bahwa ternyata
sebagian besar bapak (suami) di kota-kota besar di Indonesia pernah
menyeleweng. Ibu-ibu pun ternyata mulai berperilaku yang sama.
Cinta bebas dan pelacuran dalam
berbagai bentuk semakin meluas. Koran-koran menuliskan bagaimana suasana mesum
ini sudah melibatkan para pelajar, mahasiswi, ibu-ibu rumah tangga, dokter,
bahkan anak-anak dibawah umur. Suasana ini mungkin akan semakin mewabah.
Media massa dan sarana-sarana lain yang
bersifat pornografis telah menyusup secara meluas ke dalam masyarakat kita.
Semua
hal yang disebutkan di atas tentu saja bisa merupakan godaan besar bagi
pasangan suami istri untuk mengkhianati kesetiaan perkawinan mereka.
· Masalah-masalah
lain yang tak terlalu langsung berhubungan dengan perkawinan, tetapi bisa
mempunyai akibat yang cukup besar untuknya. Sekedar contoh, kita bisa
menyebutkan satu diantaranya, yaitu keadaan ekonomi rumah tangga yang
morat-marit. Suatu rumah tangga yang selalu terbentur pada kesulitan ekonomi,
bisa mengalami kegagalan dalam kehidupan perkawinan. Kesulitan ekonomi rumah
tangga bisa membuat seseorang berprasangka buruk tentang teman hidupnya. Dalam
keadaan semacam itu bapak atau ibu bisa mulai berspekulasi, mencari peruntungan
dalam bentuk judi, korupsi, mencuri, dan sebagainya.
Menghadapi
kesulitan-kesulitan itu, kiranya agak sulit untuk memberikan suatu resep yang
siap pakai. Akan tetapi, ada saran yang bersifat sangat umum tetapi penting,
yaitu dalam setiap kesulitan yang timbul, suami istri harus jujur dan saling
terbuka satu sama lain. Banyak kesulitan dan ketegangan dalam rumah tangga bisa
semakin menumpuk dan berlarut-larut karena baik suami maupun istri tidak berani
berbicara secara terus terang tentang kesulitan-kesulitan yang dialami.
Padahal, sekali mereka berani membukia hati, segala kesulitan itu bisa
tersingkir, atau setidak-tidaknya menjadi lebih ringan.
No comments:
Post a Comment